Sabtu, 09 Mei 2020

LORONG WAKTU DI SIEM REAP (+PHNOM PENH)

My Kinda signature pose disebuah tempat wisata. Hohoho

Cambodia atau Kamboja nampaknya bukan tujuan berlibur populer bagi pejalan asal Indonesia. Buktinya, dalam penerbangan saya dari Kuala Lumpur ke Siem Reap, saya hampir tak bisa mengidentifikasi turis asal RI yang turut bersama seorang teman.
 
Well, setahun lalu tepatnya di akhir Juli 2019, saya bersama teman -Dade Salampessy- menjelajahi Siem Reap dan ibukota Cambodia Phnom Penh. Lanjut ke Ho CHi Minh City atau Saigon, tapi mungkin cerita HCMC akan di cerita selanjutnya ya. Hohoho

Berawal dari kemumetan jiwa dan raga yang melanda pada pertengahan tahun2019, saya iseng melihat dan berburu tiket saat Air Asia mengadakan diskon. Oya sedikit cerita, betapa saya butuh “pelarian” saat itu. Pertama adalah saya sudah hampir 7 tahun bekerja di kantor yang sama, dan hampir mengalami “stuck” karena merasa sudah tidak bisa berkembang. Daripada stress karena saat itu telah berkali-kali mencoba peruntungan di kantor lain dan juga belum ada yang nyangkut, saya pikir liburan tanpa embel-embel kerjaan bisa memulihkan jiwa yang sudah akut. Sembari membeli tiket, saya berbisik dalam hati “semoga ini menjadi Jobbymoon, alisa honeymoon menjelang pekerjaan baru. Nemu tanggal dan rute cocok, maka langsung saya bayar tiket satu kali jalan dari CGK-KUL-REP. Saya beli satu kali jalan karena menghindari tiket hangus karena ga dapat cuti, atau alasan mayor lainnya.

Tanggal yang dinanti tiba (24 Juli 2019), sudah lama memang saya ingin menjelajah kota tua Siem Reap (baca: Siem Riyep). Bukan hanya karena pesona Angkor Wat nya saja dan komplek candi-candi lainnya yang juga gajk kalah bagus, tapi ingin mengetahui bagaimana kehidupan di negara yang katakanlah saat ini masih berada di belakang Indonesia dari segi pembangunan. Oya, selain itu, ingin tahu juga bagaimana kondisi negara jajahan Prancis saat ini. Apakah masih terdapat sisa-sisa kolonial, atau sudah tidak berbekas sama sekali.

Tiba di Bandara Internasional Siem Reap, saya merasa tidak asing. Iklim yang tidak jauh beda, perawakan orang Kamboja yang jujur sangat mirip orang indonesia dari segi warna kulit, membuat saya seolah “oke, gak salah emang berkunjung kesini”. Bandaranya seperti baru dan megah dengan atap menjulang khas bangunan negara Indo China. Tidak ada garbarata, kami harus berjalan kaki dari parkir pesawat memasuki gedung terminal. Rata-rata turis yang berkunjung adalah para kulit putih. Seperti yang saya katakan di awal, jarang sekali Asian yang memang menyengajakan pergi ke SIem Reap, jika dibandingkan ke negara tetangganya, baik Thailand maupun Vietnam. Kesannya ke Siem Reap itu bagi mereka yang kolot, pensiunan, dan culture geek saja.

Menyusuri jalan menuju pusat kota selama 30 menit dengan tuk-tuk jemputan hotel, kami seolah menelusuri lorong waktu. Jalanan masih belum sepenuhnya baik dengan tertutup aspal. Di pinggir jalan sesekali lihat kerbau yang ditumpangi bocah. Saya sampai berujar “berasa balik tahun 90an ya". Tiba di hotel yang bangunannya pun klasik, kami langsung rebahan, cek sinyal wifi, dan TV (masih TV tabung, see betapa memutar waktu diperkuat oleh suasana dari dalam kamar hotel) dengan tayangan TV lokal semua yang tentu tidak kami mengerti.

Pub Street, gak boleh enggak kesini. When East meet West, old and new blend togetha...
Sore jelang Maghrib, kami keluar membeli SIM, lihat-lihat pusat keramaian di Pub Street, dan makan malam. Oya, hotel kami bukan tepat di Pubstreet karena kami malas dengan ingar birang orang tipsy dan musik kencang. Tapi hanya dengan jalan kaki kami sudah sampai Pub street, jadi pas lah secara jarak. DI sekitar Pub street saya beli sim sebesar USD 6, dan Pancake pisang USD 2. Oya soal SIM katanya lebih murah kalau beli pas masih di Bandara REP, bisa 50% lebih murah bahkan. Hohoho. Satu lagi, disini semua pakai Dollar AS (USD), jadi siapin aja USD yang banyak, dan siap-siap nangis ngeluarin USD tiap hari. Hohoho… (Tips menghemat ada di bagian akhir)

Salah satu sudut di Bayon
Besoknya Pagi sekitar jam 9 kami sudah cus ke komplek angkor dengan tuktuk yang sama jemputan hotel. Kami menyewa tuktuk selama seharian (tepatnya 6 jam, dari jam 9-15) tapi saya lupa tarif pastinya, em… diperkirakan USD 15 lah, atau sekira 225 ribu-an. Sementara tiket masuk Komplek Angkor adalah USD 37, kalau ini gak mungkin lupa. Secara atraksi utama. Sekitar IDR 555.000. Mahal? Tapi terbayar dengan mengunjungi tempat keren yang udah masuk film Tomb Raider, hingga banyak foto-foto IG-able yang bagus-bagus dari komplek ini.

Dari tempat membeli tiket, kami harus jalan lagi sekitar 17 menit ke Komplek Candi yang pertama: ANGKOR. Oya, kami hanya punya 3 spot dengan tarif ini, dan kami memilih Angkor, Bayon dan Tha Phrom. Dan di tengah hari atau jam 12 nanti kami berhenti makan siang. OKe, Angkor wat, ini GEDE banget. Padahal titik pertama tapi keringat udah membasahi tubuh, betis bengkak mau pecah, sampai napas terengah-engah. DIsini harus pinter-pinter bagi waktujangan sampai terlalu buang-buang banyak energi dan waktu. Dari pintu gerbang yang diatas danau, kami meniti tangga, menyusuri lorong, hingga meniti tangga curam banget buat sampai di puncak candi Angkor. Gak kebayang sih kehidupan disini dulu, selain semua terbuat dari batu, luasnya yang bikin geleng-geleng.

another spot of Bayon. Betah ngadem disini...
Puas foto-foto di Angkor, kami lanjut ke Bayon -candi dengan empat sisi wajah Budha- yang bertepatan dengan jam maksi. DI resto, kami memesan makan khas semacam sayuran capcai dan ikan goreng. Uniknya, sang sopir gak mau gabung dengan kita, meski kita paksa buat makan bareng. Mungkin mereka profesional dan gak mau gabung dengan turis, tapi disedikan makan oleh pemilik resto sebagai “imbalan” sudah bawa turis kemari (cie turis). Abis makan siang kami lanjut ke masih komplek bayon, yang lebih kecil tapi instagramable. Saya banyak ambil pose yoga ala-ala, karena memang candinya bikin adem.

Dari Bayon, kami ke Tha Phrom, yang terdapat pohon tumbuh di antara bebatuan candi. Disini saya denger setiap tour guide berkali-kali menyebut nama Angelin Jolie. Betapa sebuah film berhasil bawa dampak besar bagi pariwisata suatu tempat. Apalagi kalau film dan bintangnya besar. DIsini kami tidak terlalu lama, selain mepet, antrian buat foto di pohon candi juga mengular. Lengah dikit, orang akan ambil spot foto terbaik. So pinter-pinter aja ngambil angle terbaik tanpa distraksi turis.

No caption needed (trus ini apa)
SELESAI? Tentu belum, karena masih ada destinasi lain sebetulnya di REP. Tapi kami memang tidak melirik, toh pasti di Indonesia akan lebih baik, meski di REP terdapat danau Tonle Sap yang jadi danau terbesar di ASEAN. SO, besoknya kami langsung meluncur ke ibukota, Phnom Penh.

Lima jam perjalanan darat dengan VAN atau semacar travel jakarta-Bandung, akhirnya kami melihat kehidupan modern, gedung menjulang tinggi beberapa, dan Royal Palace yang tepat selemparan batu dari hostel kami menginap. Kali ini kami memilih hostel 4 kasur karena memang hanya satu malam. So, saya dan Dade sharing room dengan 2 orang lainnya.
 
Bajol, alias Bajaj Online yang jadi transportasi andalan kami keliling PNH.
Sesaimpainya di hostel, kami gak buang-buang waktu. Langsung meluncur ke National museum yang bercat merah marun keren, hingga observasi royal palace yang akan kami kunjungi besoknya. Malamnya tentu kami makan di sebuah restoran melayu yang enak dekat sebuah pasar malam, tapi bukan central market ya.

Besoknya pagi-pagi sekali kami meluncur ke royal palace seharian. Mengagumi keindahan dan kemegahan royal palace yang disana-sini terdapat banyak ornamen berwarna emas. Tak jauh beda dengan royal palace di Bangkok, mungkin yang membedakan disini tidak terlalu ramai dan komplek istananya lebih sedikit. Oya, turis yang mendominasi adalah dari RRC. Yang sesekali mendobrak peraturan, baik merokok maupun membuang sampah sembarangan. Padahal istana ini termasuk yang disucikan dan diharuskan menjaga perilaku selama berkunjung.

Merpati putih dibawah awan yang kelam. halah. Ini di depan Royal Palace.
Oya, kalau mau beli oleh-oleh central market (yang kalau dilihat dari atas berbentuk X), wajib jadi kunjungan. Selain cenderung murah, pilihannya banyak. Mau kaos-kaos bertuliskan CAMBODIA, benderanya, hingga pernak-pernik lain.

Overall, Cambodia sngat direkomendasikan terutama buat yang emang suka banget sama sejarah dan budaya. Mahal? Tergantung ya, mungkin karena turis asing pakai USD, jadi kesannya apa-apa mahal. Tapi pengeluaran bisa ditekan dari hotel/penginapan. Yang dibawah 500 ribu rupiah pun sudah bagus kok, jadi ga perlu di hotel berjaringan yang berbintang juga masih bisa tidur nyaman kok. Beli air mineral bisa yang paling murah dibawah USD 1. Karena hampir hotel-hotel non jaringan tidak menyediakan air galon buat diisi ulang. Makan bisa dapat USD 7,5 per orang syukur-syukur USD 5 kalau makanannya sharing menu, dua nasi gitu. Intinya banyakin riset sebelum meluncur kesana, dan jangan apa-apa ngandelin naik tuk-tuk. Jalan kaki jadi kunci, dan pilih penginapan yang dekat dengan atraksi utama tujuan kita.
 
Patung Norodom Sihanouk dan tugu Kemerdekaan di belakangnya, tepat pusat kota PNH.
Well, selamat menjelajah waktu di Negeri Kamboja, Kingdom of Wonder. 


Ferry,
Lots of Love